Wednesday, May 23, 2007

Hukum adat, masih relevankah? Tiga buah cerita dari Pakistan, Guinea Bissau dan Indonesia.


Untuk kesekian kalinya, saya mendapat gagasan ketika membaca tiga buah artikel dari 3 Majalah berbeda, 3 topik berbeda, dan 3 Negara yang berbeda, hampir tak ada kaitan. Namun akhirnya saya menyadari garis besar yang “menyamakan” mereka. Akan saya coba ceritakan satu persatu. Lets the story begin.. tapi sebelumnya silakan membawa minuman dan cemilan karena mungkin agak panjang ceritanya.

Mukhtar Mai, bagi orang yang concern pada hak asasi manusia dan kesetaraan pada perempuan pasti mengenal sosok perempuan ini. Perempuan inilah yang mengguncangkan dunia dengan kisah tragisnya. Mukhtar Mai adalah seorang wanita Pakistan yang membela haknya sebagai warga Negara yang dilecehkan oleh sukunya sendiri. Mukhtar Mai mendapatkan ganjaran hukuman atas perbuatan yang tidak dilakukannya dan pemfitnahan orang lain. Dahulu (mungkin sampai sekarang) di Pakistan terdapat dua kelas social dalam masyarakat, dimana masih terdapat jauh jurang pemisah antara golongan kelas atas dan kelas bawah. Mukhtar Mai dan keluarganya termasuk golongan kedua. Suatu saat adik laki-laki Mukhtar Mai, dituduh oleh pemuka adat dari golongan atas dengan tuduhan melakukan hubungan terlarang dengan wanita dari golongan atas. Tanpa ada bukti dan saksi yang menguatkan tuduhan, sebagai hukuman, pemuka atas memutuskan menghukum Mukhtar Mai dengan “menggilir” Mukhtar mai kepada 4 (empat) orang pria dari dari golongan atas. Meski keluarga Mukhtar Mai tidak terima, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa ketika Mukhtar Mai yang lemah dipaksa masuk ke sebuah lumbung padi dan dipaksa “melayani” hasrat birahi (sejujurnya, saya bingung memutuskan kosa kata apa yang akan saya pakai) keempat orang tersebut. Meskipun Mukhtar Mai berteriak menangis, meraung, meminta tolong, dan memohon ampun namun tidak ada siapapun yang bisa dan mau menolong. Padahal disekitar lumbung padi tersebut banyak penduduk sekitar yang tahu namun tidak mau tahu. Sebagai wanita harga dirinya diinjak-injak dan menangis perih, namun belum cukup penderitaan Mukhtar Mai. Setelah “selesai”, Mukhtar dikeluarkan dari lumbung padi tanpa sehelai benangpun dibadannya dan harus berjalan mengelilingi kampung untuk kembali kerumahnya.

Selama berhari-hari Mukhtar Mai trauma dan tidak bisa keluar rumah, sebenarnya masih panjang sekali cerita Mukhtar Mai namun singkatnya berkat bantuan seorang wartawan yang mengangkat cerita tragisnya Mukhtar Mai berani membawa kasusnya ke meja hukum dunia dan berhasil memenangkan kasusnya kemudian memenjarakan pemuka adat dan beberapa pria dari golongan atas dan sekarang menjadi pembicara yang terkemuka mengenai hak asasi manusia dan kesetaraan pada perempuan. Mukhtar Mai juga memperoleh uang ganti rugi yang sebenarnya penderitaannya tidak bisa digantikan dengan sejumlah apapun uang didunia. Sesungguhnya yang terjadi adalah adik laki-laki Mukhtar Mai diperkosa oleh beberapa orang laki-laki dari golongan atas, karena takut membocorkan cerita dan menjadi aib maka adik Mukhtar Maipun difitnah memperkosa seorang gadis dari golongan atas. Mukhtar Mai sekarang sudah berhasil membangun 3 sekolah untuk wanita di Pakistan. Cita-citanya adalah membuat wanita Pakistan lebih pintar dan menyadari hak dan harga dirinya agar tidak mengalami penderitaan yang sama seperti dirinya.

Setelah kita melihat penderitaan seorang Mukhtar Mai, wanita dari Pakistan, mari kita lihat kebahagiaan yang tidak bisa didapat wanita manapun didunia kecuali di sebuah desa kecil (maaf saya lupa nama desanya) di Kepulauan Orange, Guinea Bissau. Di desa ini, hukum yang berlaku diseluruh dunia (mungkin) dengan ekstrim tidak berlaku disini. Dibelahan dunia manapun, diputuskan tanpa hitam diatas putih. Pria berhak memilih dan wanita berhak menolak ataupun menerima. Namun disini, wanita yang berkuasa dan memegang tonggak kepemimpinan. Pria disini tidak punya hak menolak jika hendak “dinikahi” oleh seorang wanita. Jika seorang wanita di desa ini telah merasa siap dan ingin menikah, dia tinggal menunjuk seorang laki-laki yang diinginkannya dan menikahinya. Kenapa laki-laki tidak bisa menolak? Pasti itu kan yang ada dibenak anda sekarang. Itu karena dari segi finansial, laki-laki yang dipilih ini teramat miskin sehingga untuk makan saja dia tidak bisa. Maka wanita ini berhak menikahi laki-laki itu, mau atau tidak, suka atau tidak suka.

Saat ditanya kepada salah satu laki-laki yang terpaksa menikah setelah “dipilih” oleh salah seorang wanita dari suku tersebut, dia berkata bahwa dia tidak mencintai wanita yang menikahinya sama sekali, namun mau tidak mau dia harus mau menuruti wanita tersebut karena telah menikahinya dan agar tetap membuat nasi tetap ada dipiringnya. Sungguh ironis… apakah tidak ada warga yang ingin memberontak dan laki-laki yang merasa harga dirinya terinjak-injak? Tentu saja ada, namun hanya segelintir kaum minoritas saja. Pemuka adat terdahulu yang sekarang berumur 90 tahun sangat mengutuk adat pernikahan seperti ini, sebagai laki-laki dia sangat merasa terhina namun agaknya kaum ;laki-laki disana semakin lemah dan malah sekarang berebut untuk dinikahi karena banyak dari mereka lebih suka menganggur daripada bekerja.

Sekarang setelah kita berkunjung ke Pakistan dan berenang ke Guinea Bissau. Bagaimanapun kita harus kembali ke negeri kita tercinta Indonesia. Saat ini bisa dilihat banyak sekali cerita disinetron yang menggambarkan percintaan anak muda yang berakhir pada pernikahan yang dipaksakan. Kawin Muda, pengantin Muda, Benci jadi cinta, Benci bilang cinta (halah..) dan beberapa judul lain yang “tersohor”. Saya pikir itu hanya terjadi di sinetron saja, pikir saya mana ada sih anak muda sekarang yang mau menikah sangat muda dan meniggalkan masa mudanya yang indah? Mungkin memang ada, namun biasanya sudah cukup dewasa untuk memutuskan tersebut. Kalau tidak si calon suami yang sudah dewasa, si calon istri yang dewasa dan mungkin ada sesuatu yang “sudah” terjadi? Who knowslah.

Namun kita akan melihat sebuah adat unik dari sebuah desa kecil di Lombok Utara. Tersebutlah seorang anak muda bernama Usnadi yang masih tercatat sebagai murid kelas V SD di desa tersebut. Usnadi layaknya murid SD lain juga senang bermain dengan teman-temannya. Suatu saat, didesa tetangga Usnadi harus menghadiri sebuah acara untuk mewakili orang tuanya. Disanalah Usnadi bertemu dengan cinta pertama dan terakhirnya Pinasep atau Aspinep (maafkan otak saya yang tidak mampu mengingat) mari kita memutuskan namanya Pinasep saja. Entah kenapa setelah bertemu dengan Pinasep, Usnadi jadi tak bisa makan, tak bisa tidur dan hanya terbayang wajah manis gadis cilik yang juga kelas V SD tersebut. Malam minggu pertama, Usnadi nekat melewati hutan belantara yang memisahkan desanya dengan desa Pinasep dan membelah malam untuk mendatangi Pinasep. Tentu saja orang tua si gadis cilik tak merasa perlu mengawasi atau curiga ketika seorang pemuda kecil bertamu kerumahnya. Biasanya kencan pertama tidak akan dilakukan “penembakan”, namun Usnadi sudah menyiapkan hatinya dan nekat “menembak” sang pujaan hati, Pinasep. Untungnya Pinasep juga mempunyai perasaan yang sama dengan Usnadi. Akhirnya merekapun menjadi sepasang kekasih.

Malam minggu kedua dan ketiga Usnadi rajin mendatangi Pinasep sambil membawa oleh-oleh yang diambilnya dari kebun dirumahnya. Malam minggu keempat, Usnadi nekat mengajak Pinasep kabur dari rumah dan melewati hutan belantara dengan mengendari sepeda kecilnya. Dengan Pinasep yang bonceng dibelakangnya, Usnadipun mengayuh sepeda kecilnya kuat-kuat melewati malam, dalam pikirannya keluarga Pinasep mengejarnya. Namun kata Usnadi itulah pengorbanan cintanya pada Pinasep. Setelah sampai dirumahnya Usnadi meminta dinikahkan dengan Pinasep, tentu saja orang tua Usnadi kaget dan shock bahkan ibunya hampir pingsan. Namun Usnadi tidak perduli, dia tetap ngotot ingin dinikahkan dan mengancam akan bunuh diri jika tidak segera dinikahkan (jadi ingat sebuah cerita dari kampus sendiri hehehe). Melihat kekerasan hati dan tekadnya, maka tidak ada yang bisa dilakukan oleh kedua orang tua dari kedua belah pihak kecuali merestui pernikahan dua anak manusia yang masih tergolong ingusan ini. Sebulan setelah itu, mereka pun dinikahkan.
Di desa tersebut terdapat Adat Cocol, adat pernikahan ini dilakukan jika ada sepasang kekasih yang ingin kawin lari (kawin kok pake lari ya?) namun tidak mempunyai banyak uang untuk menyelenggarakan pernikahan. Masalah terjadi ketika pihak KUA tidak mau melakukan pernikahan ketika mengetahui Usnadi masih tercatat sebagai murid kelas V SD, oleh karena itu Ayah Usnadi pun segera meminta surat keterangan memperbolehkan Usnadi untuk tetap bersekolah meski sudah menikah. Maka pernikahan pun bisa dilangsungkan. Adat Cocol hanya memerlukan mas kawin sebesar Rp. 10 ribu dan ijab Qabul maka mereka pun resmi menjadi sepasang suami-istri. dan ini terjadi di tahun 2007 tepatnya bulan Februari 2007. Hal yang membuat saya terperangah adalah kalau boleh saya sebut “kedewasaan” Usnadi ketika berkata dia akan meninggalkan sekolah dan mulai bekerja sebagai buruh bangunan untuk menghidupi istrinya, dan mungkin anaknya jika mereka mempunyai anak. Anak SD mana lagi yang sanggup menyatakan kesanggupan dan tanggung jawabnya?
Hah…akhirnya saya berhasil menceritakan kepada anda 3 kisah nyata berbeda dari berbagai belahan dunia dengan topic berbeda. Mungkin sekarang anda sudah tahu atau mungkin tidak, apa yang menyamakan tiga kisah diatas? Hukum adat. Hukum adat yang menyebabkan seorang wanita bernama Mukhtar Mai menderita lahir dan batin, Hukum adat yang menyebabkan seorang laki-laki diinjak harga dirinya karena “dinikahi” dan hukum adat yang membuat seorang Usnadi dan Pinasep menikah meski mereka baru kelas V SD? Masih relevankah dengan kehidupan modern saat ini?

Bagaimana menurut pendapat anda?( )

No comments: